Selasa, 23 September 2014

Ekonomi Pembagunn "Masaah Dualisme"


Bab I

Pendahuluan

 

    1. Latar Belakang
      Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi. Dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik. Gagasan tentang dualisme jiwa dan raga berasal setidaknya sejak zaman Plato dan Aristoteles dan berhubungan dengan spekulasi tantang eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan kebijakan. Plato dan Aristoteles berpendapat, dengan alasan berbeda, bahwa "kecerdasan" seseorang (bagian dari pikiran atau jiwa) tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan fisik.
      Versi dari dualisme yang dikenal secara umum diterapkan oleh René Descartes (1641), yang berpendapat bahwa pikiran adalah substansi nonfisik. Descartes adalah yang pertama kali mengidentifikasi dengan jelas pikiran dengan kesadaran dan membedakannya dengan otak, sebagai tempat kecerdasan. Sehingga, dia adalah yang pertama merumuskan permasalahan jiwa-raga dalam bentuknya yang ada sekarang. Dualisme bertentangan dengan berbagai jenis monisme, termasuk fisikalisme dan fenomenalisme. Substansi dualisme bertentangan dengan semua jenis materialisme, tetapi dualisme properti dapat dianggap sejenis materilasme emergent sehingga akan hanya bertentangan dengan materialisme non-emergent. Selain itu,  Dualisme juga merupakan suatu keadaan di mana “sang superior” hidup berdampingan dengan  “sang inferior” namun tidak memiliki hubungan yang erat, tidak akan mati dengan sendirinya  oleh karena alasan waktu, bahkan jurang pemisah antara “sang superior” dan “sang inferior” makin terbuka lebar seiring perkembangan zaman. Dualisme dapat dipandang dari berbagai kasanah, seperti sosial, teknologi, geografi (kawasan), dan ekonomi. Dalam hal ini yang akan dibahas adalah dari sudut pandang ekonomi.
      Teori dualisme pertama kalinya dikemukakan oleh seorang ekonom Belanda, J.H. Boeke. Teorinya berasal dari suatu fenomena di mana konsep ekonomi Barat yang dibawa dan diterapkan oleh para penjajah ternyata tidak mampu untuk mensejahterakan rakyat jajahannya (dalam hal ini rakyat Indonesia). Dalam artian mengalami kegagalan.
      Negara eks jajahan (sekarang bisa disebut negara sedang berkembang) memiliki pola dan sistem sosial yang berbeda dengan negara Barat. Pada awalnya pola dan sistem sosial Barat memiliki daya penetrasi yang cukup kuat untuk masuk ke dalam sistem sosial negara jajahannya. Keduanya hidup berdampingan antara sistem sosial liberal Barat dengan sistem sosial lokal negara jajahan (dalam hal ini Indonesia). Tetapi memang pada dasarnya adalah berbeda, tidak mungkin untuk disama- samakan Penetrasi yang dilakukan ternyata tidak (bisa dibaca: kurang) bermakna dan menyokong satu dengan lainnya.
      Sang superior dan inferior yang dimaksud dalam dualisme ekonomi Indonesia adalah industri dan pertanian. Industri diagung-agungkan oleh kebanyakan pihak, dipandang sebagai penggerak utama perekonomian bangsa, sementara sektor pertanian (kerakyatan), sang soko guru ekonomi, hanya dipandang sebelah mata atau mungkin tidak dipandang sama sekali.
    2. Rumusan Masalah
      1. Apa definisi dari dualisme dan dualisme pembangunan?
      2. Adakah jenis-jenis dari dualisme tersebut?
      3. Bagaimana pengaruh dualisme dalam pembangunan ekonomi di Indonesia?
      4. Bagaimana Kasus Dualisme di Negara Berkembang ?
    3. Tujuan Penulisan.
      1. Memberikan penjelasan mengenai dualisme dalam perekonomian.
      2. Memberikan jenis jenis dualisme yang ada dalam sistem perekonomian.
      3. Menjelaskan pengaruh dualisme dalam pembangunan ekonomi di Indonesia.
      4. Memenuhi tugas mata kuliah ekonomi pembangunan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab II

Pembahasan

 

2.1 Konsep Dualisme

Dualisme merupakan suatu konsep yang sering dibicarakan dalam ekonomi pembangunan, terutama jika kita membicarakan tentang kondisi sosial-ekonomi NSB. Konsep ini menunjukan adanya perbedaan antara bangsa-bangsa kaya dan miskin, dan perbedaan antara berbagai golongan masyarakat yang semakin meningkat. Pada dasarnya, konsep dualisme mempunyai empat karakteristik pokok, yaitu :

2.1.1    Dua keadaan yang berbeda dimana satu keadaan bersifat “superior” dan keadaan yang lainnya bersfat “inferior” yang bisa hidup berdampingan pada ruang dan waktu yang sama.

2.1.2    Kenyataan hidup berdampingannya dua keadaan yang berbeda tersebut bersifat kronis dan bukan transisional.

2.1.3    Derajat superioritas atau inferioritas itu tidak menunjukkan kecenderungan yang menurun, bahkan terus meningkat.

2.1.4    Keterkaitan antara unsur superior dan unsur inferior tersebut menunjukkan bahwa keberadaa unsur superior tersebut hanya berpengaruh kecil sekali atau bahkan tidak berpengaruh sama sekali dalam mengangkat unsur inferior. Bahkan kenyataannya, unsur yang superior tersebut sering kali justru menyebabkan timbulnya kondisi keterbelakangan (under development).

 

Setelah mengetahui konsep konsep dari dualisme, berikut ini adalah beberapa definisi dari para ahli mengenai Dualisme :

2.1.1    J.H Boeke (1953)

Dualisme disini berarti dalam waktu yang sama didalam masyarakat terdapat dua gaya sosial yang jelas berbeda satu sama lain, dan masing-masing berkembang secara penuh serta saling mempengaruhi.

2.1.2    Bachirawi Sanusi (2004)

Dualisme merupakan himpunan masyarakat yang berbeda yang memungkingkan pihak yang termasuk superior dan inferior hidup berdampingan disuatu tempat yang sama.

 

 

2.1.3    Drs. Irawan M.B.A (2002)

Dualisme Ekonomi yaitu kegiatan ekonomi dan keadaan ekonomi serta keadaan yang lain dalam suatu masa tertentu, atau dalam suatu sektor ekonomi tertentu yang memiliki sifat tidak seragam.

 

Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa dualisme adalah dua keadaan yang berbeda dimana satu keadaan bersifat superior dan keadaan lainnya bersifat inferior yang hidup berdampingan pada ruang dan waktu yang sama. Dengan adanya dua keadaan yang berbeda ini tentunya akan memiliki pengaruh tersendiri bagi suatu negara yang secara tidak langsung menganut sistem dualisme ekonomi ini.

 

2.2 Macam- Macam Dualisme

Setelah mengetahui konsep dualisme, maka dualisme sendiri dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Hal ini didasari pada dalam aspek apa dualisme tersebut berkembang. Berikut ini merupakan penjelasan mengenai macam-macam dualisme.

2.2.1    Dualisme Sosial

Tahun 1910, seorang ekonom Belanda, J.H Boeke menyatakan bahwa pemikiran ekonomi Barat tidak dapat diterapkan dalam memahami permasalahan perekonomian negara-negara jajahan (tropis) tanpa suatu “modifikasi” teori. Jika ada pembagian secara tajam, mendalam dan luas yang membedakan masyarakat menjadi dua kelompok, maka banyak masalah sosial dan ekonomi yang polanya sangat berbeda dengan teori ekonomi Barat sehingga pada akhirnya teori tersebut akan kehilangan hubungannya dengan realitas dan bahkan kehilangan nilainya. Boeke menganggap bahwa prokondisi dari dualismenya adalah hidup berdampingannya dua sistem sosial yang berinteraksi hanya secara marginal melalui hubugan yang sangat terbatas antara pasar produk dan pasar tenaga kerja.

Prinsip pokok tesis Boeke adalah pembedaan antara tujuan kegiatan ekonomi di Barat dan di timur secara mendasar. Ia mengatakan bahwa kegiatan ekonomi di Barat berdasarkan pada rangsangan kebutuhan ekonomi, sedangkan Indonesia disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan sosial. Suatu masyarakat yang memiliki dua sistem sosial atau lebih disebut masyarakat dualistik atau majemuk. Dalam masyarakat dualistik, ada dua sistem sosial yang hidup secara berdampingan dimana yang satu tidak dapat sepenuhnya menguasai yang lainnya, demikian sebaliknya.

Keadaan ini disebabkan oleh adanya sistem sosial yang lebih modern terutama berasal dari negara-negara Barat yang kemudian berkembang di negara lain sebagai akibat dari adanya penjajahan dan perdagangan internasional sejak abad yang lalu.

2.2.2    Dualisme Ekologi

Menurut Clifford Geertz (1963), dualisme ditandai perbedaan-perbedaan dalam sistem ekologis. Hal ini membentuk pola-pola sosial dan ekonomi tertentu yang menyatu didalamnya dan membentuk suatu keseimbangan internal. Geertz menjelaskan konsepnya tentang dualisme ekologis ini dengan menggunakan kasus Indonesia. Ia menjelaskan adanya perbedaan antara “Indonesia Dalam” dan “Indonesia Luar”. “Indonesia Dalam”, dalam hal ini Jawa, merupakan sistem ekologis padat karya yang ditandai oleh pertanian padi, tebu, dan tanaman lainnya yang membutuhkan iklim tropis dan semi tropis serta membutuhkan banyak air. Sementara “Indonesia Luar” ditandai oleh pertanian yang padat modal, seperti : produk tambang, karet dan kelapa sawit.

Menurut Bachirawi Sanusi (2004), Dualisme merupakan himpunan masyarakat yang berbeda yang memungkinkan pihak yang termasuk superior dan yang inferior hidup berdampingan disuatu tempat yang sama.

2.2.3    Dualisme Teknologi

Higgins, merupakan salah satu pakar ekonomi yang menolak gagasan Boeke mengenai dualisme dalam sistem sosial. Menurut Higgins, awal mula dualisme berasal dari perbedaan teknologi antara sektor modern dan sektor tradisional. Menurut Higgins, teknologi impor yang digunakan dalam sektor modern bersifat hemat tenaga kerja (labour saving) sehingga modal lebih banyak digunakan. Keadaan ini berbanding terbalik dengan keadaan sektor tradisional yang ditandai oleh penggunaan metode produksi yang padat tenaga kerja. Kurangnya pembentukan modal pada sektor tradisional menyebabkan perkembangan sektor ini sangat terbatas.

Dualisme teknologi adalah suatu keadaan dimana didalam suatu kegiatan ekonomi tertentu digunakan teknik produksi yang berbeda dengan kegiatan ekonomi lainnya sehingga menyebabkan perbedaan tingkat produktivitas yang sangat besar, dalam hal ini teknologi modern sangat berperan penting.

Teknologi modern yang dimaksud diatas berkisar pada sektor industri pertambangan, industri transportasi dan sebagainya. Sedangkan kegiatan ekonomi yang tingkat teknologinya masih rendah yaitu : pertanian, industri rumah tangga, organisasi produksi tradisional dan lain lain.

2.2.4    Dualisme Finansial

Myint (1967) meneruska studi Higgint mengenai proses terjadinya dualisme. Dalam analisis Myint, beliau mengemukakan mengenai dualisme finansial. Hal ini pun merujuk pada pengertian bahwa pasar uang dalam negara jajahan (NSB) dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu pasar uang yang terorganisir dengan baik (organized money market) dan pasar uang yang tidak terorganisir (unorganized money market).

Pasar uang yang terorganisir dengan baik terdiri dari bank-bank komersial dan lembaga-lembaga keuangan non-bank. Lembaga ini terdapat di pusat-pusat bisnis dan kota-kota besar, serta memiliki tujuan untuk menyediakan pinjaman kepada perusahaan yang bergerak dalam bidang perkebunan tanaman ekspor dan pertambangan. Namun setelah NSB mencapai kemerdekaan, pemerintah mengadakan usaha yang sifatnya mendorong lembaga-lembaga keuangan modern untuk memberikan pinjaman kepada sektor ekonomi lainnya, terutama sektor industri dan pertanian rakyat.

Sedangkan dalam keadaan sebaliknya, tidak ada lembaga keuangan formal seperti bank atau lembaga keuangan non-bank. Contohnya seperti petani kaya atau rentenir. Ciri penting dari pinjaman melalui lembaga keuangan informal ini yaitu tingkat biaya yang sangat tinggi. Namun, karena lembaga informal ini merupakan satu satunya penyalur dana, para petani menyukainya karena prosedur peminjaman dananya yang tidak terlalu rumit.

2.2.5    Dualisme Regional

Dualisme regional adalah ketidakseimbangan tingkat pembangunan antar berbagai daerah dalam satu negara. Konsep dualisme regional ini tidak hanya terjadi di NSB saja. Perbedaannya, ketidakseimbangan yang terjadi pada negara maju tidaklah separah yang terjadi di NSB.

Dualisme regional ini memusatkan perhatiannya pada masalah kesenjangan yang terjadi pada kesejahteraan antar daerah. Misalnya, di NSB ada beberapa daerah yang berkembang sangat pesat sehingga keadaan ekonomi dan sosialnya sudah hampir menyamai negara maju, sedangkan daerah lainnya mengalami perkembangan yang sebaliknya atau bahkan mengalami kemunduran.

Dualisme regional yang semakin buruk dapat menimbulkan masalah-masalah sosial dan politik yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi di NSB. Berikut ini merupakan jenis dari dualisme regional di NSB :

  1. Dualisme antara daerah perkotaan dan pedesaan.
  2. Dualisme antara pusat negara, pusat industri dan perdagangan dengan daerah lain dalam suatu negara.
     

Dualisme ini merupakan akibat dari investasi yang tidak seimbang antara daerah perkotaan dan pedesaan. Ketidakseimbangan ini akhirnya menyebabkan kesenjangan antara perkotaan dan pedesaan semakin besar.

 

2.3 Pengaruh Dualisme dalam Pembangunan Perekonomian Indonesia

Dualisme terkait sekali dengan adanya dua kekuatan berbeda yang hidup berdampingan dalam waktu yang sama. Dalam uraian diatas telah dijelaskan mengenai beberapa jenis dualisme yang berkembang dalam NSB. Mulai dari sistem sosial, ekologis, teknologi, finansial sampai regional, semuanya di pengaruhi oleh sistem dualisme ini.

Akibat adanya dua unsur yang berbeda, tidak dapat dipungkiri bahwa dualisme ini memberikan efek yang negatif dalam perekonomian yang perkembangannya masih belum begitu tinggi. Seperti halnya pada negara yang sedang berkembang. Sebagian besar kegiatan-kegiatan ekonomi pada negara berkembang masih dilaksanakan dengan menggunakan teknik-teknik yang sederhana dan tradisional. Konsep tradisional ini tentunya akan membawa dua dampak yang mendasar dalam sistem perekonomian serta sistem sosial yang ada pada masyarakat. Pertama, dengan sistem yang masih tradisional produktivitas yang dihasilkan akan rendah. Kedua, terbatasnya usaha yang menuju ke arah pembaharuan atau perubahan. Adanya sikap takut akan pembaharuan, akan mengakibatkan produktivitas yang rendah tidak akan mengalami perubahan dari masa ke masa. Hal ini akan membawa dampak yang kurang baik terhadap mekanisme pasar, atau yang biasa kita sebut dengan ketidak sempurnaan pasar.

Dalam pasar yang sempurna, faktor-faktor produksi memiliki mobilitas yang tinggi dan dapat saling menggantikan satu sama lain. Hal ini tidak terjadi di negara yang memiliki ketidaksempurnaan pasar. Adanya sektor tradisional dan sektor modern menyebabkan adanya perbedaan tingkat upah yang diterima oleh setiap individu. Penguasaan teknologi menjadi dasar dalam menghitung upah setiap orang dan pendidikan serta keterampilan yang dimiliki oleh seseorang dalam bekerja akan menjadi penentu upah bagi masing-masing individu.

Selain itu, ketidaksempurnaan pasar sering kali disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai keadaan pasar. Para pekerja tidak menyadari tentang adanya kesempatan kerja yang lebih baik di sektor atau di daerah lain. Para petani tidak mengetahui adanya cara untuk meningkatkan produksi dan para pengusaha tidak menyadari kemungkinan untuk mengembangkan pasar dalam negeri maupun luar negeri. Adanya kuasa monopoli dalam perdagangan di sektor tradisional merupakan salah satu contoh ketidaksempurnaan pasar di negara miskin.

Dalam suatu pasar yang sempurna, para pelaku ekonomi dianggap rasional. Artinya, setiap orang akan berusaha mencapai tingkat kepuasan maksimum. Pengamatan yang dilakukan di NSB menunjukkan hasil yang sebaliknya, yaitu masyarakat tidak berusaha untuk mencapai tujuan tersebut dan tidak responsif pada rangsangan baik yang terjadi dalam pasar. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa sikap masyarakat terhadap perkembangan pasar merupakan salah satu faktor yang menimbulkan ketidaksempurnaan pasar di NSB.

Pengaruh ketidaksempurnaan pasar terhadap tingkat produksi dalam suatu masyarakat dapat ditunjukkan dengan menggunakan kurva kemungkinan produksi (produstion possibillities curve), yaitu seperti pada gambar 1.1 .

 

 


 

 

 

 

 

 

 

 

                 Gambar 1.1

 

Kurva AB adalah kurva kemungkinan produksi negara yang tingkat pembangunannya relatif rendah, sedangkan kurva PQ menggambarkan kurva kemungkinan produksi suatu negara yang sudah maju. Kurva kemungkinan produksi ini menunjukkan kemampuan maksimum suatu negara untuk menghasilkan barang industri, barang pertanian atau kombinasi dari golongan barang tersebut. Apabila gabungan barang industri dan barang pertanian ditunjukkan dalam oleh salah satu titik pada kurva tersebut, maka keadaan itu berarti bahwa sumber daya di negara tersebut digunakan secara penuh (full employment). Negara yang lebih maju kemampuan memproduksinya lebih besar daripada negara yang lebih miskin. Oleh karenanya kurva kemungkinan produksinya (PQ) adalah lebih jauh dari titik O jika dibandingkan dengan kurva kemungkinan produksi dari negara yang lebih miskin (AB).

Walaupun kemampuan negara yang relatif miskin dalam memproduksi barang pertanian dan barang industri lebih terbatas, negara yang seperti itu sering kali tidak mampu mencapai batas produksi maksimalnya. Salah satu sebabnya yang penting adalah karena adanya ketidaksempurnaan pasar. Pada umumnya tingkat produksi yang dicapai dalam negara yang relatif miskin adalah pada titik dibawah kurva kemungkinan produksi AB, misalnya pada titik M. Apabila tingkat produksi seperti yang ditunjukkan oleh titik M, maka keadaan tersebut menunjukka bahwa walaupun tidak dilakukan perbaikan dalam teknologi, akan tetapi apabila dilakukan perbaikan dalam bidang institusional dan organisasi produksi, jumlah produksi dapat diperbesar lagi. Berarti tingkat produksi yang baru akan ditunjukkan oleh titik-titik yang terletak lebih dekat dari kurva AB atau pada kurva itu. Keadaan yang baru ini misalnya adalah seperti yang ditunjukkan oleh titik N1 atau N2 yang berarti bahwa tingkat produksi nasional telah bertambah tinggi. Titik N1 meunjukkan bahwa tingkat produksi barang pertanian menjadi lebih tinggi, sedangkan titik N1 menggambarkan bahwa pertambahan produksi yang terjadi di sektor industri.

Negara miskin, selain kemampuannya dalam memproduksi produk pertanian dan produk industri yang masih relatif terbatas, juga seringkali tidak mampu mencapai batas produksi yang maksimal. Salah satu penyebabnya adalah karena adanya ketidaksempurnaan pasar. Di samping adanya beberapa pengaruh negatif dari adanya dualisme sosial terhadap pembangunan, selanjutnya sering dinyatakan pula bahwa adanya dualisme dalam tingkat teknologi yang digunakan dapat menimbulkan dua keadaan yang mungkin mempengaruhi lajunya tingkat pembangunan ekonomi.

      1. Pertama, dualisme teknologi terlahir sebagai akibat dari perusahaan modal asing atas sektor modern, sebagian besar dari keuntungan yang diperoleh dari modal asing akan dibawah ke luar negeri.
      2. Kedua, dualisme teknologiakan membawa tiga dampak negatif, yaitu: membatasi kemampuan sektor modern dalam menciptakan kesempatan kerja, membatasi kemampuan sektor pertanian untuk berkembang, memperburuk masalah pengangguran.
         
        Jika hambatan hambatan-hambatan yang ditimbulkannya terhadap perkembangan kesempatan kerja dan perkembangan sektor pertanian, dan terdapatnya kemungkinan untuk mempercepat perkembangan produksi diposisikan sederajat, kemudian perbandingan efek positif dan negatif yang ditimbulkan, maka dualisme teknolog itidaklah salah dan tidak memperkukuh kemiskinan yang ada di NSB (negara sedang berkembang). Tanpa adanya sektor modern, NSB mungkin akan mengelami pertumbuhan yang lebih lambat daripada yang telah dicapainya pada masa lalu.
         
    1. Kasus Dualisme di Negara Berkembang “Dualisme Ekonomi Keterkaitannya Terhadap Globalisasi Pertanian dan Konflik Sumber daya Alam Yang Muncul di Indonesia”
      2.4.1    Globalisasi Pertanian
      Globalisasi secara teoritis penuh dengan tuntutan atas negara-negara yang ingin (dipaksa harus) terlibat, seperti mengendurkan beamasuk, mengendurkan proteksi, mengurangi subsidi, memangkas regulasiekspor-impor, perburuhan, investasi, dan harga, serta melakukanprivatisasi atas perusahaan milik negara. Kondisi tersebut tidak akanbanyak membawa produk-produk lokal ke pasar internasional. Sekalipunperusahaan - perusahaan TNCs (Trans Nasional Cooperations) dibebanitanggungjawab sosial, namun fenomenanya tidak akan jauh berbedadengan pola kemitraan atau contract farming yang pada hakekatnyabermodus eksploitasi. Dalam hal ini Indonesia yang tergolong sebagainegara agraris, masih diliputi oleh konflik ini namun keterkaitannyaterhadap globalisasi pertanian yang marak terjadi.
      Genderang globalisasi pertanian di Indonesia sesungguhnya telahdimulai sejak pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan hongitochten, yaitu cara perdagangan monopoli yang disertai denganpenghancuran kebun-kebun/hutan-hutan rempah penduduk yang beranimenyaingi monopoli perdagangan tersebut (Satari, 1999). Pada tahun1830 globalisasi semakin kentara dengan diterapkannya kebijakan tanampaksa(cultur stelsel).
      Tanah sebagai sumberdaya alam yang pentingdikuasai oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang di desa diwakili KepalaDesa dan dipinjamkan kepada petani, dan petani harus membayarnya.Pada tahun 1870 Pemerintah Kerajaan Belanda memberlakukan Undang-Undang Agraria (Agrarische) sebagai pelumas masuknya modal swastaEropa sebagai tonggak pertanian modern (estate). Rakyat pedesaan yangsemula merupakan petani mandiri berubah status menjadi buruhperkebunan, dan berakhir di awal abad ke 19 (VOC bangkrut).Globalisasi pertanian di Indonesia memuncak pada era 1970-an,ketika program Revolusi Hijau (Green Revolusion) intens diintroduksikan.Berbagai input luar produk dari perusahaan-perusahaan TNCs dipaksakankepada petani untuk diterapkan. Puncaknya tercapai tahun 1985, yaituswasembada beras. Setelah itu intensitas dan eskalasi pasar input luar semakin menggila seiring dengan dikembangkannya konsepsi agribisnis.Di penghujung abad 20, kebijakan ekonomi makro Indonesia semakin jelastepolarisasi pada pertumbuhan. Implikasinya, alokasi sumberdaya untukpembangunan pertanian tergeser oleh sektor manufaktur sebagai sektor prioritas. Dengan demik ian, pembangunan yang selayaknya “agriculture-led” menjadi di dominasi oleh pemba ngunan yang bersifat “manufacturingindustries-led”.Meningkatnya respon negatif dari berbagai kalangan atas dampaknegatif program Revolusi Hijau tidak lantas membuat TNCs terhenti.Melalui sosialisasi pada berbagai ruang publik, TNCs pun dapatmelangkah dengan mulus lewat pendekatan Agribisnis. Lewat pendekataninilah senyatanya TNCs dapat dengan mudah mengintegrasikan pasar nasional kedalam pasar internasional yang dikuasai dan dikontrolnya.Melalui pendekatan Agribisnis dominasi TNCs diperhalus denganmenghadirkan keragaman istilah yang sepertinya berbau pemerataan,seperti Contrac Farming, Kemitraan (PIR, TRI), Rice Estate, CorporateFarming, dan sebagainya. Dengan demikian, perbudakan danpemarginalan petani menjadi tidak kentara. Secara sosial praktis, TNCspun menjadi baking para petani berdasi dalam segala hal. Ini merupakanpraktik efisiensi yang perlahan namun pasti akan menyingkirkan para petani kecil (fenomenanya dapat kita saksikan pada usaha tani sayuran diDataran Tinggi, poultryshop, dsb).
      2.4.2    Konflik Sumber Daya Alam di Riau sepanjang tahun 2008
      Berdasarkan catatan Badan Pertanahan Nasional (BPN), sedikitnyaada 7.491 konflik agraria yang saat ini sedang ditangani BPN danKepolisian Republik Indonesia. Tingginya konflik ini disebabkan olehadanya ketimpangan penguasaan sumber daya alam antara masyarakatyang menggantungkan hidup dari sumber ekonomi berbasis sumber dayaalam (tanah, hutan, perkebunan, jasa lingkungan dll) denganpenguasaan oleh sektor bisnis, khususnya sektor industri skalabesar perkebunan, kehutanan dan pertambangan, danpenguasaan oleh negara yang masih menegasikan adanya hak-hak masyarakat adat/lokal (tenurial, tradisional, ulayat).Untuk konteks di Provinsi Riau, Konflik-konflik tersebut terjadididominasi oleh maraknya penguasaan sumber daya alam olehperkebunan besar kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri untuk bahanbaku industri bubur dan kertas (pulp dan paper), disamping untukkepentingan perlindungan kawasan hutan konservasi dan lindung.Sepanjang tahun 2008, Scale Up mencatat sedikitnya ada 96 konfliksumber daya alam, dengan luas lahan konflik 200.586,10 hektar. Wujudkonflik di lapangan bukan hanya terjadi antara 2 pihak,melainkan bisa lebih, bahkan pemerintah seringkali juga sebagai pihakyang langsung terlibat, baik sebagai pemicu maupun dalam posisimembela salah satu pihak ataupun dengan alasan penegakan hukumpositif, seperti dalam kasus penertiban masyarakat kawasan konservasi.
      Konflik di Industri Kehutanan (Hutan Tanaman Industri)
       

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hutan Tanaman Industri mulai berkembang di Riau hampir bersamaan dengan Perkebunan, sebagai bentuk ekspansi setelahindustri ini terlebih dahulu eksis di Sumatera utara (PT. Inti IndoRayon). Dalam praktek penguasaan sumber daya alam, Hutan TanamanIndustri relatif lebih besar mendapat resistensi dari masyarakatdibanding perkebunan, karena merupakan komoditi yang tidak memilikipasar yang bebas seperti kelapa sawit dan masa panennya 6-7 tahunsekali. Makanya untuk mengatasi resistensi masyarakat, industri inicendrung memperkuat program sosialnya melalui Corporate socialResponsibility (CSR). Walaupun pada kenyataannya program CSR yangada tetap saja belum efektif meredam konflik dengan masyarakatsekitarnya. Di beberapa daerah konflik yang mendapatperlawanan masyarakat cukup kuat, industri ini mencobamenyelesaikan konflik dengan cara membangunkan kebun sawit ataukaret untuk masyarakat korban, dan menawarkan skema kerja samadalam bentuk Hutan Tanaman Rakyat (HTR).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Secara umum industri ini karena tingginya resistensimasyarakat, relatif lebih memiliki beragam alternatif penyelesaiankonflik dibandingkan perkebunan kelapa sawit. Namun tetap sajatuntutan masyarakat korban terhadap lahan mereka yang dikuasaiperusahaan terjadi dimana-mana. Dalam beberapa kasus menyebabkanbentrok fisik seperti yang terjadi baru-baru ini antara masyarakat DusunSuluk Bungkal Desa Beringin Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis dengan Kepolisian Daerah Riau yang membantu PT. Arara Abadimengamankan lahannya dari okupasi masyarakat (Serikat Tani Riau).Selama tahun 2008 Scale Up mencatat sedikitnya ada 24 konflikantara masyarakat dengan sektor Kehutanan di Riau, dengan lahankonflik seluas 85.771 hektar. Konflik-konlfik yang ada merupakan konflikberkepanjangan yang terjadi sejak tahun-tahun sebelumnya, tapibelum mendapatkan penyelesaian yang memadai.Tentu saja hal inimenyebabkan warga miskin di pedesaan meningkat hal ini dikarenakankebijakan ekonomi pemerintah cenderung memfasilitasi penduduk diperkotaan ketimbang warga desa. Pemerintah lebih mementingkankegiatan di sektor industri/jasa daripada sektor primer (pertanian) yang jadi gantungan hidup mayoritas (43 persen) warga, terutama di pedesaan.Data-data menunjukkan, sebagian besar rumah tangga petani (73,4persen) adalah petani padi/palawija. Ini menggambarkan dua halsekaligus: sebagian besar petani miskin, dan sebagian besar orang miskinitu petani. Konsep yang kita kenal tentangurban-rural linkages tak berjalan. Akhirnya, kota makin perkasa, sedangkan desa justru kianmerana.Ini terjadi akibat kesalahan strategi industrialisasi. Bukannyamembuat sejahtera, industrialisasi malah memiskinkan sektor pertanian.Industrialisasi telah menciptakan dualisme ekonomi: ekonomi padatmodal, teknologi, dan modern di perkotaan, dan ekonomi tradisional padattenaga kerja di pedesaan. Tiadanya keterkaitan di antara keduanyamembuat kedua wilayah kian tertutup satu sama lain. Ketidakseimbanganpembangunan antara Indonesia bagian barat dan timur, khususnya antaraJawa dan non-Jawa, juga kian serius. Disparitas antardaerah ini sudahterjadi sejak dulu, tapi hingga kini belum ada perbaikan. Pada 2010,kawasan barat (Jawa+Sumatra) menguasai 81 persen PDB nasionaldengan Jawa yang hanya 9 persen dari luas wilayah menguasai 58persen PDB nasional. Jawa juga menjadi sentra ekonomi sekunder dantersier, sedangkan luar Jawa ekonomi primer.Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian/pedesaanmemperlemah kapasitas pertanian Indonesia. Hal ini ditunjukkan olehmakin meningkatnya jumlah petani gurem dan rusaknya sumber dayapertanian, baik lahan, DAS, maupun hutan. Menumpuknya tenaga kerja disektor pertanian yang tidak diimbangi kemampuan sektor ini dalammemberikan penghidupan layak bagi para petani dan tenaga kerjapertanian bukan hanya meningkatkan pengangguran dan kemiskinan dipedesaan serta meningkatkan kesenjangan desa-kota dan pertanian-industri, tapi juga melumpuhkan seluruh perekonomian nasional. Kondisiini akan mempengaruhi kemampuan petani dan sektor pertanian dalam menopang pangan, pakan, sandang-papan, dan bahan bakar secaraberkesinambungan untuk menjamin kualitas (jiwa, raga, dan kecerdasan)warga dan generasi mendatang.Tanpa mengubah insentif ekonomi, dualisme ekonomi ini akan tetaplanggeng. Ke depan, sistem ekonomi harus dikembalikan kepadakonstitusi. Kekayaan alam yang dimiliki negeri ini harus dikelola untuksebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lalu, formulasi insentif fiskalseharusnya diarahkan sesuai dengan kepentingan nasional. Sampaibeberapa tahun ke depan, masalah pengangguran dan kemiskinan masihakan menjadi isu terpenting, sehingga insentif fiskal harus ditujukan untukmengatasi dua soal itu. Karena itu, insentif fiskal harus didorong untukmengembangkan sektor pertanian, pertambangan, dan industri agar pertumbuhan ekonomi tidak selalu ditopang sektor non-tradable.

2.4.3    Pembahasan

Salah satu ciri penting dari negara berkembang seperti telah dijelaskan adalah: perekonomiannya bersifat dualistik. Maksudnya, dalam perekonomian kegiatan ekonomi dapat dibedakan kepada dua golongan: kegiatan ekonomi modern dan kegiatan ekonomi tradisional. Beberapa pendapat telahdikemukakan tentang akibat yang kurang menguntungkan dari adanya dualisme tersebut terhadap kemungkinan untuk mengembangkan perekonomian, terutama yang masih menjalankan kegiatan-kegiatannyasecara tradisional. Analisis-analisis tersebut pada dasarnya menunjukkan bahwa ciri ekonomi yang bersifat dualistik tersebut, terutama dualisme sosial dan teknologi, menimbulkan keadaan-keadaan yang menyebabkan mekanisme pasar tidak berfungsi secara semestinya. dan ketidaksempurnaan mekanisme pasar ini selanjutnya mengakibatkan sumber daya yang tersedia tidak digunakan secara efisien.

Impor berbagai produk dan bahan baku pertanian kian hari kianmeningkat. Meskipun jumlah produk pertanian yang diekspor dan dipasarkandi pasar domestik jauh lebih tinggi daripada impor, namun selisih nilainyahanya 2 persen (Khudori, 2003). Nilai 2 persen sesungguhnya tidak berarti,karena jika dianalisis, nilai transaksi berjalan produk pertanian Indonesia itusesungguhnya devisit. Betapa tidak, produk pertanian yang diekspor olehIndonesia sesungguhnya adalah produk yang padat dengan input luar (impor). Keunggulan produk tersebut jelas sangat bersifat kompetitif semu(shadow competitivenes). TNCs sebagai pihak yang paling tahu akan efisiensimemandang bahwa proses produksi usaha tani (on-farm) sangat rentanterhadap risiko dan ketidakpastian, untuk itu ia menerapkan strategi kemitraan atau contarc farming.

Dalam hal ini kaitan dualisme ekonomi terhadap globalisasi pertanianadalah meningkatnya peluang kelangkaan produksi komoditas-komoditaspertanian. Dalam kondisi tersebut, prioritas pembangunan pertanian diarahkankepada peningkatan produksi dan pemenuhan serta pencapaian kecukupanbahan panga, terutama beras. Namun, peningkatan produksi saja ternyatasulit untuk meningkatkan kesejahteraan petani di pedesaan. Oleh karena itu,sejak tahun 1994 paradigma pembangunan pertanian mengalami perubahandari pendekatan produksi menjadi pembangunan pertanian berorientasiagribisnis. Permasalahan mendasar bangsa ternyata sebagian besar beradapada petani dan masyarakat perdesaan yaitu kemiskinan, keterbelakangan,ketidakberdayaan dan pengangguran. Lebih lanjut disampaikan sebuahtawaran untuk pemecahan masalah mendasar bangsa tersebut yaitu denganmengupayakan profit center berada pada petani. Prinsip tersebut seyogyanyamerupakan paradigma pembangunan pertanian pada saat ini dan di masadepan yang harus dihayati dan menjadi acuan operasional bagi seluruhpemangku kepentingan.

Faktor-faktor internal yang dominan mempengaruhi kemampuan petani dalam meningkatkan kesejahteraannya antara lain adalah masalahpenguasaan sumberdaya, terutama: (1). Sumberdaya alam, (2). Teknologi,khususnya teknologi pasca panen dan pengolahan hasil, (3). Modal dan (4).Informasi, khususnya informasi pasar, akses kepada teknologi dan modal. Sedangkan faktor eksternal antara lain menyangkut: (1). System pembinaan,(2). Kebijakan ekonomi makro, (3). Kebijakan khusus, seperti kebijakanperdagangan menyangkut komoditas tertentu, dan (4). Perubahan lingkunganstrategis yang potensial menjadi tantangan dan menimbulkan permasalahanbagi petani. Dari permasalahan yang telah dikemukakan menunjukkan bahwapeluang bagi petani di perdesaan untuk meningkatkan kesejahteraannyamelalui perolehan nilai tambah hasil pertanian dapat terlaksana apabila petanidi perdesaan dapat menguasai proses pengolahan dan pemasaran komoditasyang diusahakan, atau penerapan system agribisnis secara utuh.

 

 

 

.

 

 

 

Bab III

Penutup

 

3.1 Kesimpulan

3.1.1    Dualisme adalah dua keadaan yang berbeda dimana satu keadaan bersifat superior dan keadaan lainnya bersifat inferior yang hidup berdampingan pada ruang dan waktu yang sama.

3.1.2    Dualisme sendiri terdiri dari berbagai macam aspek, seperti : Dualisme Sosial, Dualisme Ekologis, Dualisme Teknologi, Dualisme Finansial, Dualisme Regional

3.1.3    Tiga permasalahan pokok yang dihadapi oleh negara sedang berkembangadalah sebagai berikut: berkembangnya ketidakmerataan pendapatan,kemiskinan, gap atau jurang perbedaan yang semakin lebar antara negara maju dengan negara sedang berkembang. Berdasarkan teori J.H. Boeke tentangdualisme ekonomi di negara berkembang dimana bergantung pada anugerahalami suatu negara terhadap sumber daya untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan karena dalam ekonomi berkembang, modal alami mungkin hanya sumber modal yang tersedia langsung dari alam. Adapun dikarenakan Indonesia negara agraris maka kasus dualismeekonomi didominasi atas globalisasi pertanian yang telah dimulai sejakpemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan hongitochten, yaitu caraperdagangan monopoli yang disertai dengan penghancuran kebun/hutan rempahpenduduk yang berani menyaingi monopoli perdagangan tersebut disingkirkansehingga menimbulkan konflik karena ketimpangan penguasaan sumber dayaalam. Oleh karena itu untuk meminimalisir dampak negative dari globalisasi dankonflik pertanian yang terjadi diperlukan upaya pengembangan agribisnis yanglekat dengan peningkatan pemberdayaan (empowering) masyarakat agribisnisterutama skala mikro dan kecil dalam suatu kebijakan yang “berpihak”.

3.2 Saran

Dualisme ekonomi saat ini menjadi hak oleh semua Negara di seluruh dunia yang sedang berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan adanya dualisme mengakibatkan ketidakmampuan sebagaig sumber daya yang ada di NYSB tidak digunakan secara efesien. Jadi saya menyarankan bahwa sumber daya yang ada di Indonesia kita harus manfaatkan dengan baik, yaitu dengan adanya dualisme ekonomi ini kita lakukan pengembangan sumber daya manusia yang ada dan kita harus manfaatkan dengan baik.

Tri Susanti © 2008 Por *Templates para Você*