Bab I
Pendahuluan
- Latar BelakangDualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi. Dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik. Gagasan tentang dualisme jiwa dan raga berasal setidaknya sejak zaman Plato dan Aristoteles dan berhubungan dengan spekulasi tantang eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan kebijakan. Plato dan Aristoteles berpendapat, dengan alasan berbeda, bahwa "kecerdasan" seseorang (bagian dari pikiran atau jiwa) tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan fisik.Versi dari dualisme yang dikenal secara umum diterapkan oleh René Descartes (1641), yang berpendapat bahwa pikiran adalah substansi nonfisik. Descartes adalah yang pertama kali mengidentifikasi dengan jelas pikiran dengan kesadaran dan membedakannya dengan otak, sebagai tempat kecerdasan. Sehingga, dia adalah yang pertama merumuskan permasalahan jiwa-raga dalam bentuknya yang ada sekarang. Dualisme bertentangan dengan berbagai jenis monisme, termasuk fisikalisme dan fenomenalisme. Substansi dualisme bertentangan dengan semua jenis materialisme, tetapi dualisme properti dapat dianggap sejenis materilasme emergent sehingga akan hanya bertentangan dengan materialisme non-emergent. Selain itu, Dualisme juga merupakan suatu keadaan di mana “sang superior” hidup berdampingan dengan “sang inferior” namun tidak memiliki hubungan yang erat, tidak akan mati dengan sendirinya oleh karena alasan waktu, bahkan jurang pemisah antara “sang superior” dan “sang inferior” makin terbuka lebar seiring perkembangan zaman. Dualisme dapat dipandang dari berbagai kasanah, seperti sosial, teknologi, geografi (kawasan), dan ekonomi. Dalam hal ini yang akan dibahas adalah dari sudut pandang ekonomi.Teori dualisme pertama kalinya dikemukakan oleh seorang ekonom Belanda, J.H. Boeke. Teorinya berasal dari suatu fenomena di mana konsep ekonomi Barat yang dibawa dan diterapkan oleh para penjajah ternyata tidak mampu untuk mensejahterakan rakyat jajahannya (dalam hal ini rakyat Indonesia). Dalam artian mengalami kegagalan.Negara eks jajahan (sekarang bisa disebut negara sedang berkembang) memiliki pola dan sistem sosial yang berbeda dengan negara Barat. Pada awalnya pola dan sistem sosial Barat memiliki daya penetrasi yang cukup kuat untuk masuk ke dalam sistem sosial negara jajahannya. Keduanya hidup berdampingan antara sistem sosial liberal Barat dengan sistem sosial lokal negara jajahan (dalam hal ini Indonesia). Tetapi memang pada dasarnya adalah berbeda, tidak mungkin untuk disama- samakan Penetrasi yang dilakukan ternyata tidak (bisa dibaca: kurang) bermakna dan menyokong satu dengan lainnya.Sang superior dan inferior yang dimaksud dalam dualisme ekonomi Indonesia adalah industri dan pertanian. Industri diagung-agungkan oleh kebanyakan pihak, dipandang sebagai penggerak utama perekonomian bangsa, sementara sektor pertanian (kerakyatan), sang soko guru ekonomi, hanya dipandang sebelah mata atau mungkin tidak dipandang sama sekali.
- Rumusan Masalah
- Apa definisi dari dualisme dan dualisme pembangunan?
- Adakah jenis-jenis dari dualisme tersebut?
- Bagaimana pengaruh dualisme dalam pembangunan ekonomi di Indonesia?
- Bagaimana Kasus Dualisme di Negara Berkembang ?
- Tujuan Penulisan.
- Memberikan penjelasan mengenai dualisme dalam perekonomian.
- Memberikan jenis jenis dualisme yang ada dalam sistem perekonomian.
- Menjelaskan pengaruh dualisme dalam pembangunan ekonomi di Indonesia.
- Memenuhi tugas mata kuliah ekonomi pembangunan
Bab II
Pembahasan
2.1 Konsep Dualisme
Dualisme merupakan
suatu konsep yang sering dibicarakan dalam ekonomi pembangunan, terutama jika
kita membicarakan tentang kondisi sosial-ekonomi NSB. Konsep ini menunjukan
adanya perbedaan antara bangsa-bangsa kaya dan miskin, dan perbedaan antara
berbagai golongan masyarakat yang semakin meningkat. Pada dasarnya, konsep
dualisme mempunyai empat karakteristik pokok, yaitu :
2.1.1 Dua keadaan yang berbeda dimana satu keadaan
bersifat “superior” dan keadaan yang lainnya bersfat “inferior” yang bisa hidup
berdampingan pada ruang dan waktu yang sama.
2.1.2 Kenyataan hidup berdampingannya dua keadaan
yang berbeda tersebut bersifat kronis dan bukan transisional.
2.1.3 Derajat superioritas atau inferioritas itu
tidak menunjukkan kecenderungan yang menurun, bahkan terus meningkat.
2.1.4 Keterkaitan antara unsur superior dan unsur
inferior tersebut menunjukkan bahwa keberadaa unsur superior tersebut hanya
berpengaruh kecil sekali atau bahkan tidak berpengaruh sama sekali dalam
mengangkat unsur inferior. Bahkan kenyataannya, unsur yang superior tersebut
sering kali justru menyebabkan timbulnya kondisi keterbelakangan (under
development).
Setelah mengetahui
konsep konsep dari dualisme, berikut ini adalah beberapa definisi dari para
ahli mengenai Dualisme :
2.1.1 J.H Boeke (1953)
Dualisme disini berarti dalam waktu yang sama
didalam masyarakat terdapat dua gaya sosial yang jelas berbeda satu sama lain,
dan masing-masing berkembang secara penuh serta saling mempengaruhi.
2.1.2 Bachirawi Sanusi (2004)
Dualisme merupakan himpunan masyarakat yang berbeda
yang memungkingkan pihak yang termasuk superior dan inferior hidup berdampingan
disuatu tempat yang sama.
2.1.3 Drs.
Irawan M.B.A (2002)
Dualisme Ekonomi yaitu kegiatan ekonomi dan keadaan
ekonomi serta keadaan yang lain dalam suatu masa tertentu, atau dalam suatu
sektor ekonomi tertentu yang memiliki sifat tidak seragam.
Jadi, dapat ditarik
kesimpulan bahwa dualisme adalah dua keadaan yang berbeda dimana satu keadaan
bersifat superior dan keadaan lainnya bersifat inferior yang hidup berdampingan
pada ruang dan waktu yang sama. Dengan adanya dua keadaan yang berbeda ini
tentunya akan memiliki pengaruh tersendiri bagi suatu negara yang secara tidak
langsung menganut sistem dualisme ekonomi ini.
2.2 Macam- Macam
Dualisme
Setelah mengetahui
konsep dualisme, maka dualisme sendiri dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Hal
ini didasari pada dalam aspek apa dualisme tersebut berkembang. Berikut ini
merupakan penjelasan mengenai macam-macam dualisme.
2.2.1 Dualisme Sosial
Tahun 1910, seorang
ekonom Belanda, J.H Boeke menyatakan bahwa pemikiran ekonomi Barat tidak dapat
diterapkan dalam memahami permasalahan perekonomian negara-negara jajahan
(tropis) tanpa suatu “modifikasi” teori. Jika ada pembagian secara tajam,
mendalam dan luas yang membedakan masyarakat menjadi dua kelompok, maka banyak
masalah sosial dan ekonomi yang polanya sangat berbeda dengan teori ekonomi
Barat sehingga pada akhirnya teori tersebut akan kehilangan hubungannya dengan
realitas dan bahkan kehilangan nilainya. Boeke menganggap bahwa prokondisi dari
dualismenya adalah hidup berdampingannya dua sistem sosial yang berinteraksi
hanya secara marginal melalui hubugan yang sangat terbatas antara pasar produk
dan pasar tenaga kerja.
Prinsip pokok tesis
Boeke adalah pembedaan antara tujuan kegiatan ekonomi di Barat dan di timur
secara mendasar. Ia mengatakan bahwa kegiatan ekonomi di Barat berdasarkan pada
rangsangan kebutuhan ekonomi, sedangkan Indonesia disebabkan oleh
kebutuhan-kebutuhan sosial. Suatu masyarakat yang memiliki dua sistem sosial
atau lebih disebut masyarakat dualistik atau majemuk. Dalam masyarakat
dualistik, ada dua sistem sosial yang hidup secara berdampingan dimana yang
satu tidak dapat sepenuhnya menguasai yang lainnya, demikian sebaliknya.
Keadaan ini disebabkan
oleh adanya sistem sosial yang lebih modern terutama berasal dari negara-negara
Barat yang kemudian berkembang di negara lain sebagai akibat dari adanya
penjajahan dan perdagangan internasional sejak abad yang lalu.
2.2.2 Dualisme Ekologi
Menurut Clifford Geertz
(1963), dualisme ditandai perbedaan-perbedaan dalam sistem ekologis. Hal ini
membentuk pola-pola sosial dan ekonomi tertentu yang menyatu didalamnya dan
membentuk suatu keseimbangan internal. Geertz menjelaskan konsepnya tentang
dualisme ekologis ini dengan menggunakan kasus Indonesia. Ia menjelaskan adanya
perbedaan antara “Indonesia Dalam” dan “Indonesia Luar”. “Indonesia Dalam”,
dalam hal ini Jawa, merupakan sistem ekologis padat karya yang ditandai oleh
pertanian padi, tebu, dan tanaman lainnya yang membutuhkan iklim tropis dan
semi tropis serta membutuhkan banyak air. Sementara “Indonesia Luar” ditandai
oleh pertanian yang padat modal, seperti : produk tambang, karet dan kelapa
sawit.
Menurut Bachirawi
Sanusi (2004), Dualisme merupakan himpunan masyarakat yang berbeda yang
memungkinkan pihak yang termasuk superior dan yang inferior hidup berdampingan
disuatu tempat yang sama.
2.2.3 Dualisme Teknologi
Higgins, merupakan
salah satu pakar ekonomi yang menolak gagasan Boeke mengenai dualisme dalam
sistem sosial. Menurut Higgins, awal mula dualisme berasal dari perbedaan
teknologi antara sektor modern dan sektor tradisional. Menurut Higgins,
teknologi impor yang digunakan dalam sektor modern bersifat hemat tenaga kerja
(labour saving) sehingga modal lebih banyak digunakan. Keadaan ini berbanding
terbalik dengan keadaan sektor tradisional yang ditandai oleh penggunaan metode
produksi yang padat tenaga kerja. Kurangnya pembentukan modal pada sektor
tradisional menyebabkan perkembangan sektor ini sangat terbatas.
Dualisme teknologi
adalah suatu keadaan dimana didalam suatu kegiatan ekonomi tertentu digunakan
teknik produksi yang berbeda dengan kegiatan ekonomi lainnya sehingga
menyebabkan perbedaan tingkat produktivitas yang sangat besar, dalam hal ini
teknologi modern sangat berperan penting.
Teknologi modern yang
dimaksud diatas berkisar pada sektor industri pertambangan, industri
transportasi dan sebagainya. Sedangkan kegiatan ekonomi yang tingkat
teknologinya masih rendah yaitu : pertanian, industri rumah tangga, organisasi
produksi tradisional dan lain lain.
2.2.4 Dualisme Finansial
Myint (1967) meneruska
studi Higgint mengenai proses terjadinya dualisme. Dalam analisis Myint, beliau
mengemukakan mengenai dualisme finansial. Hal ini pun merujuk pada pengertian bahwa
pasar uang dalam negara jajahan (NSB) dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu pasar
uang yang terorganisir dengan baik (organized money market) dan pasar uang yang
tidak terorganisir (unorganized money market).
Pasar uang yang
terorganisir dengan baik terdiri dari bank-bank komersial dan lembaga-lembaga
keuangan non-bank. Lembaga ini terdapat di pusat-pusat bisnis dan kota-kota
besar, serta memiliki tujuan untuk menyediakan pinjaman kepada perusahaan yang
bergerak dalam bidang perkebunan tanaman ekspor dan pertambangan. Namun setelah
NSB mencapai kemerdekaan, pemerintah mengadakan usaha yang sifatnya mendorong
lembaga-lembaga keuangan modern untuk memberikan pinjaman kepada sektor ekonomi
lainnya, terutama sektor industri dan pertanian rakyat.
Sedangkan dalam keadaan
sebaliknya, tidak ada lembaga keuangan formal seperti bank atau lembaga
keuangan non-bank. Contohnya seperti petani kaya atau rentenir. Ciri penting
dari pinjaman melalui lembaga keuangan informal ini yaitu tingkat biaya yang
sangat tinggi. Namun, karena lembaga informal ini merupakan satu satunya
penyalur dana, para petani menyukainya karena prosedur peminjaman dananya yang
tidak terlalu rumit.
2.2.5 Dualisme Regional
Dualisme regional
adalah ketidakseimbangan tingkat pembangunan antar berbagai daerah dalam satu
negara. Konsep dualisme regional ini tidak hanya terjadi di NSB saja.
Perbedaannya, ketidakseimbangan yang terjadi pada negara maju tidaklah separah
yang terjadi di NSB.
Dualisme regional ini
memusatkan perhatiannya pada masalah kesenjangan yang terjadi pada
kesejahteraan antar daerah. Misalnya, di NSB ada beberapa daerah yang
berkembang sangat pesat sehingga keadaan ekonomi dan sosialnya sudah hampir
menyamai negara maju, sedangkan daerah lainnya mengalami perkembangan yang
sebaliknya atau bahkan mengalami kemunduran.
Dualisme regional yang
semakin buruk dapat menimbulkan masalah-masalah sosial dan politik yang dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi di NSB. Berikut ini merupakan jenis dari
dualisme regional di NSB :
- Dualisme antara daerah perkotaan dan pedesaan.
- Dualisme antara pusat negara, pusat industri dan perdagangan dengan daerah lain dalam suatu negara.
Dualisme ini merupakan
akibat dari investasi yang tidak seimbang antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Ketidakseimbangan ini akhirnya menyebabkan kesenjangan antara perkotaan dan
pedesaan semakin besar.
2.3 Pengaruh
Dualisme dalam Pembangunan Perekonomian Indonesia
Dualisme terkait sekali
dengan adanya dua kekuatan berbeda yang hidup berdampingan dalam waktu yang
sama. Dalam uraian diatas telah dijelaskan mengenai beberapa jenis dualisme
yang berkembang dalam NSB. Mulai dari sistem sosial, ekologis, teknologi,
finansial sampai regional, semuanya di pengaruhi oleh sistem dualisme ini.
Akibat adanya dua unsur
yang berbeda, tidak dapat dipungkiri bahwa dualisme ini memberikan efek yang
negatif dalam perekonomian yang perkembangannya masih belum begitu tinggi.
Seperti halnya pada negara yang sedang berkembang. Sebagian besar
kegiatan-kegiatan ekonomi pada negara berkembang masih dilaksanakan dengan
menggunakan teknik-teknik yang sederhana dan tradisional. Konsep tradisional
ini tentunya akan membawa dua dampak yang mendasar dalam sistem perekonomian
serta sistem sosial yang ada pada masyarakat. Pertama, dengan sistem yang masih
tradisional produktivitas yang dihasilkan akan rendah. Kedua, terbatasnya usaha
yang menuju ke arah pembaharuan atau perubahan. Adanya sikap takut akan
pembaharuan, akan mengakibatkan produktivitas yang rendah tidak akan mengalami
perubahan dari masa ke masa. Hal ini akan membawa dampak yang kurang baik
terhadap mekanisme pasar, atau yang biasa kita sebut dengan ketidak sempurnaan
pasar.
Dalam pasar yang
sempurna, faktor-faktor produksi memiliki mobilitas yang tinggi dan dapat
saling menggantikan satu sama lain. Hal ini tidak terjadi di negara yang
memiliki ketidaksempurnaan pasar. Adanya sektor tradisional dan sektor modern
menyebabkan adanya perbedaan tingkat upah yang diterima oleh setiap individu.
Penguasaan teknologi menjadi dasar dalam menghitung upah setiap orang dan
pendidikan serta keterampilan yang dimiliki oleh seseorang dalam bekerja akan
menjadi penentu upah bagi masing-masing individu.
Selain itu,
ketidaksempurnaan pasar sering kali disebabkan karena kurangnya pengetahuan
masyarakat mengenai keadaan pasar. Para pekerja tidak menyadari tentang adanya
kesempatan kerja yang lebih baik di sektor atau di daerah lain. Para petani
tidak mengetahui adanya cara untuk meningkatkan produksi dan para pengusaha
tidak menyadari kemungkinan untuk mengembangkan pasar dalam negeri maupun luar
negeri. Adanya kuasa monopoli dalam perdagangan di sektor tradisional merupakan
salah satu contoh ketidaksempurnaan pasar di negara miskin.
Dalam suatu pasar yang
sempurna, para pelaku ekonomi dianggap rasional. Artinya, setiap orang akan
berusaha mencapai tingkat kepuasan maksimum. Pengamatan yang dilakukan di NSB
menunjukkan hasil yang sebaliknya, yaitu masyarakat tidak berusaha untuk
mencapai tujuan tersebut dan tidak responsif pada rangsangan baik yang terjadi
dalam pasar. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa sikap masyarakat terhadap
perkembangan pasar merupakan salah satu faktor yang menimbulkan
ketidaksempurnaan pasar di NSB.
Pengaruh
ketidaksempurnaan pasar terhadap tingkat produksi dalam suatu masyarakat dapat
ditunjukkan dengan menggunakan kurva kemungkinan produksi (produstion
possibillities curve), yaitu seperti pada gambar 1.1 .
Gambar 1.1
Kurva AB adalah kurva
kemungkinan produksi negara yang tingkat pembangunannya relatif rendah,
sedangkan kurva PQ menggambarkan kurva kemungkinan produksi suatu negara yang
sudah maju. Kurva kemungkinan produksi ini menunjukkan kemampuan maksimum suatu
negara untuk menghasilkan barang industri, barang pertanian atau kombinasi dari
golongan barang tersebut. Apabila gabungan barang industri dan barang pertanian
ditunjukkan dalam oleh salah satu titik pada kurva tersebut, maka keadaan itu
berarti bahwa sumber daya di negara tersebut digunakan secara penuh (full
employment). Negara yang lebih maju kemampuan memproduksinya lebih besar
daripada negara yang lebih miskin. Oleh karenanya kurva kemungkinan produksinya
(PQ) adalah lebih jauh dari titik O jika dibandingkan dengan kurva kemungkinan
produksi dari negara yang lebih miskin (AB).
Walaupun kemampuan
negara yang relatif miskin dalam memproduksi barang pertanian dan barang
industri lebih terbatas, negara yang seperti itu sering kali tidak mampu
mencapai batas produksi maksimalnya. Salah satu sebabnya yang penting adalah
karena adanya ketidaksempurnaan pasar. Pada umumnya tingkat produksi yang
dicapai dalam negara yang relatif miskin adalah pada titik dibawah kurva
kemungkinan produksi AB, misalnya pada titik M. Apabila tingkat produksi
seperti yang ditunjukkan oleh titik M, maka keadaan tersebut menunjukka bahwa
walaupun tidak dilakukan perbaikan dalam teknologi, akan tetapi apabila
dilakukan perbaikan dalam bidang institusional dan organisasi produksi, jumlah
produksi dapat diperbesar lagi. Berarti tingkat produksi yang baru akan
ditunjukkan oleh titik-titik yang terletak lebih dekat dari kurva AB atau pada
kurva itu. Keadaan yang baru ini misalnya adalah seperti yang ditunjukkan oleh
titik N1 atau N2 yang berarti bahwa tingkat produksi nasional telah bertambah
tinggi. Titik N1 meunjukkan bahwa tingkat produksi barang pertanian menjadi
lebih tinggi, sedangkan titik N1 menggambarkan bahwa pertambahan produksi yang
terjadi di sektor industri.
Negara miskin, selain
kemampuannya dalam memproduksi produk pertanian dan produk industri yang masih
relatif terbatas, juga seringkali tidak mampu mencapai batas produksi yang
maksimal. Salah satu penyebabnya adalah karena adanya ketidaksempurnaan pasar.
Di samping adanya beberapa pengaruh negatif dari adanya dualisme sosial
terhadap pembangunan, selanjutnya sering dinyatakan pula bahwa adanya dualisme
dalam tingkat teknologi yang digunakan dapat menimbulkan dua keadaan yang
mungkin mempengaruhi lajunya tingkat pembangunan ekonomi.
- Pertama, dualisme teknologi terlahir sebagai akibat dari perusahaan modal asing atas sektor modern, sebagian besar dari keuntungan yang diperoleh dari modal asing akan dibawah ke luar negeri.
- Kedua, dualisme teknologiakan membawa tiga dampak negatif, yaitu: membatasi kemampuan sektor modern dalam menciptakan kesempatan kerja, membatasi kemampuan sektor pertanian untuk berkembang, memperburuk masalah pengangguran.Jika hambatan hambatan-hambatan yang ditimbulkannya terhadap perkembangan kesempatan kerja dan perkembangan sektor pertanian, dan terdapatnya kemungkinan untuk mempercepat perkembangan produksi diposisikan sederajat, kemudian perbandingan efek positif dan negatif yang ditimbulkan, maka dualisme teknolog itidaklah salah dan tidak memperkukuh kemiskinan yang ada di NSB (negara sedang berkembang). Tanpa adanya sektor modern, NSB mungkin akan mengelami pertumbuhan yang lebih lambat daripada yang telah dicapainya pada masa lalu.
- Kasus Dualisme di Negara Berkembang “Dualisme Ekonomi Keterkaitannya Terhadap Globalisasi Pertanian dan Konflik Sumber daya Alam Yang Muncul di Indonesia”2.4.1 Globalisasi PertanianGlobalisasi secara teoritis penuh dengan tuntutan atas negara-negara yang ingin (dipaksa harus) terlibat, seperti mengendurkan beamasuk, mengendurkan proteksi, mengurangi subsidi, memangkas regulasiekspor-impor, perburuhan, investasi, dan harga, serta melakukanprivatisasi atas perusahaan milik negara. Kondisi tersebut tidak akanbanyak membawa produk-produk lokal ke pasar internasional. Sekalipunperusahaan - perusahaan TNCs (Trans Nasional Cooperations) dibebanitanggungjawab sosial, namun fenomenanya tidak akan jauh berbedadengan pola kemitraan atau contract farming yang pada hakekatnyabermodus eksploitasi. Dalam hal ini Indonesia yang tergolong sebagainegara agraris, masih diliputi oleh konflik ini namun keterkaitannyaterhadap globalisasi pertanian yang marak terjadi.Genderang globalisasi pertanian di Indonesia sesungguhnya telahdimulai sejak pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan hongitochten, yaitu cara perdagangan monopoli yang disertai denganpenghancuran kebun-kebun/hutan-hutan rempah penduduk yang beranimenyaingi monopoli perdagangan tersebut (Satari, 1999). Pada tahun1830 globalisasi semakin kentara dengan diterapkannya kebijakan tanampaksa(cultur stelsel).Tanah sebagai sumberdaya alam yang pentingdikuasai oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang di desa diwakili KepalaDesa dan dipinjamkan kepada petani, dan petani harus membayarnya.Pada tahun 1870 Pemerintah Kerajaan Belanda memberlakukan Undang-Undang Agraria (Agrarische) sebagai pelumas masuknya modal swastaEropa sebagai tonggak pertanian modern (estate). Rakyat pedesaan yangsemula merupakan petani mandiri berubah status menjadi buruhperkebunan, dan berakhir di awal abad ke 19 (VOC bangkrut).Globalisasi pertanian di Indonesia memuncak pada era 1970-an,ketika program Revolusi Hijau (Green Revolusion) intens diintroduksikan.Berbagai input luar produk dari perusahaan-perusahaan TNCs dipaksakankepada petani untuk diterapkan. Puncaknya tercapai tahun 1985, yaituswasembada beras. Setelah itu intensitas dan eskalasi pasar input luar semakin menggila seiring dengan dikembangkannya konsepsi agribisnis.Di penghujung abad 20, kebijakan ekonomi makro Indonesia semakin jelastepolarisasi pada pertumbuhan. Implikasinya, alokasi sumberdaya untukpembangunan pertanian tergeser oleh sektor manufaktur sebagai sektor prioritas. Dengan demik ian, pembangunan yang selayaknya “agriculture-led” menjadi di dominasi oleh pemba ngunan yang bersifat “manufacturingindustries-led”.Meningkatnya respon negatif dari berbagai kalangan atas dampaknegatif program Revolusi Hijau tidak lantas membuat TNCs terhenti.Melalui sosialisasi pada berbagai ruang publik, TNCs pun dapatmelangkah dengan mulus lewat pendekatan Agribisnis. Lewat pendekataninilah senyatanya TNCs dapat dengan mudah mengintegrasikan pasar nasional kedalam pasar internasional yang dikuasai dan dikontrolnya.Melalui pendekatan Agribisnis dominasi TNCs diperhalus denganmenghadirkan keragaman istilah yang sepertinya berbau pemerataan,seperti Contrac Farming, Kemitraan (PIR, TRI), Rice Estate, CorporateFarming, dan sebagainya. Dengan demikian, perbudakan danpemarginalan petani menjadi tidak kentara. Secara sosial praktis, TNCspun menjadi baking para petani berdasi dalam segala hal. Ini merupakanpraktik efisiensi yang perlahan namun pasti akan menyingkirkan para petani kecil (fenomenanya dapat kita saksikan pada usaha tani sayuran diDataran Tinggi, poultryshop, dsb).2.4.2 Konflik Sumber Daya Alam di Riau sepanjang tahun 2008Berdasarkan catatan Badan Pertanahan Nasional (BPN), sedikitnyaada 7.491 konflik agraria yang saat ini sedang ditangani BPN danKepolisian Republik Indonesia. Tingginya konflik ini disebabkan olehadanya ketimpangan penguasaan sumber daya alam antara masyarakatyang menggantungkan hidup dari sumber ekonomi berbasis sumber dayaalam (tanah, hutan, perkebunan, jasa lingkungan dll) denganpenguasaan oleh sektor bisnis, khususnya sektor industri skalabesar perkebunan, kehutanan dan pertambangan, danpenguasaan oleh negara yang masih menegasikan adanya hak-hak masyarakat adat/lokal (tenurial, tradisional, ulayat).Untuk konteks di Provinsi Riau, Konflik-konflik tersebut terjadididominasi oleh maraknya penguasaan sumber daya alam olehperkebunan besar kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri untuk bahanbaku industri bubur dan kertas (pulp dan paper), disamping untukkepentingan perlindungan kawasan hutan konservasi dan lindung.Sepanjang tahun 2008, Scale Up mencatat sedikitnya ada 96 konfliksumber daya alam, dengan luas lahan konflik 200.586,10 hektar. Wujudkonflik di lapangan bukan hanya terjadi antara 2 pihak,melainkan bisa lebih, bahkan pemerintah seringkali juga sebagai pihakyang langsung terlibat, baik sebagai pemicu maupun dalam posisimembela salah satu pihak ataupun dengan alasan penegakan hukumpositif, seperti dalam kasus penertiban masyarakat kawasan konservasi.
Hutan Tanaman Industri
mulai berkembang di Riau hampir bersamaan dengan Perkebunan, sebagai bentuk
ekspansi setelahindustri ini terlebih dahulu eksis di Sumatera utara (PT. Inti
IndoRayon). Dalam praktek penguasaan sumber daya alam, Hutan TanamanIndustri relatif
lebih besar mendapat resistensi dari masyarakatdibanding perkebunan, karena
merupakan komoditi yang tidak memilikipasar yang bebas seperti kelapa sawit dan
masa panennya 6-7 tahunsekali. Makanya untuk mengatasi resistensi masyarakat,
industri inicendrung memperkuat program sosialnya melalui Corporate
socialResponsibility (CSR). Walaupun pada kenyataannya program CSR yangada
tetap saja belum efektif meredam konflik dengan masyarakatsekitarnya. Di
beberapa daerah konflik yang mendapatperlawanan masyarakat cukup kuat, industri
ini mencobamenyelesaikan konflik dengan cara membangunkan kebun sawit ataukaret
untuk masyarakat korban, dan menawarkan skema kerja samadalam bentuk Hutan
Tanaman Rakyat (HTR).
Secara umum industri
ini karena tingginya resistensimasyarakat, relatif lebih memiliki beragam
alternatif penyelesaiankonflik dibandingkan perkebunan kelapa sawit. Namun
tetap sajatuntutan masyarakat korban terhadap lahan mereka yang
dikuasaiperusahaan terjadi dimana-mana. Dalam beberapa kasus menyebabkanbentrok
fisik seperti yang terjadi baru-baru ini antara masyarakat DusunSuluk Bungkal
Desa Beringin Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis dengan Kepolisian Daerah
Riau yang membantu PT. Arara Abadimengamankan lahannya dari okupasi masyarakat
(Serikat Tani Riau).Selama tahun 2008 Scale Up mencatat sedikitnya ada 24
konflikantara masyarakat dengan sektor Kehutanan di Riau, dengan lahankonflik
seluas 85.771 hektar. Konflik-konlfik yang ada merupakan konflikberkepanjangan
yang terjadi sejak tahun-tahun sebelumnya, tapibelum mendapatkan penyelesaian
yang memadai.Tentu saja hal inimenyebabkan warga miskin di pedesaan meningkat
hal ini dikarenakankebijakan ekonomi pemerintah cenderung memfasilitasi
penduduk diperkotaan ketimbang warga desa. Pemerintah lebih
mementingkankegiatan di sektor industri/jasa daripada sektor primer (pertanian)
yang jadi gantungan hidup mayoritas (43 persen) warga, terutama di
pedesaan.Data-data menunjukkan, sebagian besar rumah tangga petani (73,4persen)
adalah petani padi/palawija. Ini menggambarkan dua halsekaligus: sebagian besar
petani miskin, dan sebagian besar orang miskinitu petani. Konsep yang kita
kenal tentangurban-rural linkages tak berjalan. Akhirnya, kota makin perkasa,
sedangkan desa justru kianmerana.Ini terjadi akibat kesalahan strategi
industrialisasi. Bukannyamembuat sejahtera, industrialisasi malah memiskinkan
sektor pertanian.Industrialisasi telah menciptakan dualisme ekonomi: ekonomi
padatmodal, teknologi, dan modern di perkotaan, dan ekonomi tradisional padattenaga
kerja di pedesaan. Tiadanya keterkaitan di antara keduanyamembuat kedua wilayah
kian tertutup satu sama lain. Ketidakseimbanganpembangunan antara Indonesia
bagian barat dan timur, khususnya antaraJawa dan non-Jawa, juga kian serius.
Disparitas antardaerah ini sudahterjadi sejak dulu, tapi hingga kini belum ada
perbaikan. Pada 2010,kawasan barat (Jawa+Sumatra) menguasai 81 persen PDB
nasionaldengan Jawa yang hanya 9 persen dari luas wilayah menguasai 58persen
PDB nasional. Jawa juga menjadi sentra ekonomi sekunder dantersier, sedangkan
luar Jawa ekonomi primer.Menumpuknya tenaga kerja di sektor
pertanian/pedesaanmemperlemah kapasitas pertanian Indonesia. Hal ini
ditunjukkan olehmakin meningkatnya jumlah petani gurem dan rusaknya sumber
dayapertanian, baik lahan, DAS, maupun hutan. Menumpuknya tenaga kerja disektor
pertanian yang tidak diimbangi kemampuan sektor ini dalammemberikan penghidupan
layak bagi para petani dan tenaga kerjapertanian bukan hanya meningkatkan
pengangguran dan kemiskinan dipedesaan serta meningkatkan kesenjangan desa-kota
dan pertanian-industri, tapi juga melumpuhkan seluruh perekonomian nasional.
Kondisiini akan mempengaruhi kemampuan petani dan sektor pertanian dalam menopang
pangan, pakan, sandang-papan, dan bahan bakar secaraberkesinambungan untuk
menjamin kualitas (jiwa, raga, dan kecerdasan)warga dan generasi
mendatang.Tanpa mengubah insentif ekonomi, dualisme ekonomi ini akan
tetaplanggeng. Ke depan, sistem ekonomi harus dikembalikan kepadakonstitusi.
Kekayaan alam yang dimiliki negeri ini harus dikelola untuksebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Lalu, formulasi insentif fiskalseharusnya diarahkan sesuai
dengan kepentingan nasional. Sampaibeberapa tahun ke depan, masalah
pengangguran dan kemiskinan masihakan menjadi isu terpenting, sehingga insentif
fiskal harus ditujukan untukmengatasi dua soal itu. Karena itu, insentif fiskal
harus didorong untukmengembangkan sektor pertanian, pertambangan, dan industri
agar pertumbuhan ekonomi tidak selalu ditopang sektor non-tradable.
2.4.3 Pembahasan
Salah satu ciri penting
dari negara berkembang seperti telah dijelaskan adalah: perekonomiannya
bersifat dualistik. Maksudnya, dalam perekonomian kegiatan ekonomi dapat
dibedakan kepada dua golongan: kegiatan ekonomi modern dan kegiatan ekonomi
tradisional. Beberapa pendapat telahdikemukakan tentang akibat yang kurang
menguntungkan dari adanya dualisme tersebut terhadap kemungkinan untuk
mengembangkan perekonomian, terutama yang masih menjalankan
kegiatan-kegiatannyasecara tradisional. Analisis-analisis tersebut pada
dasarnya menunjukkan bahwa ciri ekonomi yang bersifat dualistik tersebut,
terutama dualisme sosial dan teknologi, menimbulkan keadaan-keadaan yang
menyebabkan mekanisme pasar tidak berfungsi secara semestinya. dan
ketidaksempurnaan mekanisme pasar ini selanjutnya mengakibatkan sumber daya
yang tersedia tidak digunakan secara efisien.
Impor berbagai produk
dan bahan baku pertanian kian hari kianmeningkat. Meskipun jumlah produk
pertanian yang diekspor dan dipasarkandi pasar domestik jauh lebih tinggi
daripada impor, namun selisih nilainyahanya 2 persen (Khudori, 2003). Nilai 2
persen sesungguhnya tidak berarti,karena jika dianalisis, nilai transaksi
berjalan produk pertanian Indonesia itusesungguhnya devisit. Betapa tidak,
produk pertanian yang diekspor olehIndonesia sesungguhnya adalah produk yang
padat dengan input luar (impor). Keunggulan produk tersebut jelas sangat
bersifat kompetitif semu(shadow competitivenes). TNCs sebagai pihak yang paling
tahu akan efisiensimemandang bahwa proses produksi usaha tani (on-farm) sangat
rentanterhadap risiko dan ketidakpastian, untuk itu ia menerapkan strategi
kemitraan atau contarc farming.
Dalam hal ini kaitan
dualisme ekonomi terhadap globalisasi pertanianadalah meningkatnya peluang
kelangkaan produksi komoditas-komoditaspertanian. Dalam kondisi tersebut,
prioritas pembangunan pertanian diarahkankepada peningkatan produksi dan
pemenuhan serta pencapaian kecukupanbahan panga, terutama beras. Namun,
peningkatan produksi saja ternyatasulit untuk meningkatkan kesejahteraan petani
di pedesaan. Oleh karena itu,sejak tahun 1994 paradigma pembangunan pertanian
mengalami perubahandari pendekatan produksi menjadi pembangunan pertanian
berorientasiagribisnis. Permasalahan mendasar bangsa ternyata sebagian besar
beradapada petani dan masyarakat perdesaan yaitu kemiskinan,
keterbelakangan,ketidakberdayaan dan pengangguran. Lebih lanjut disampaikan
sebuahtawaran untuk pemecahan masalah mendasar bangsa tersebut yaitu
denganmengupayakan profit center berada pada petani. Prinsip tersebut
seyogyanyamerupakan paradigma pembangunan pertanian pada saat ini dan di
masadepan yang harus dihayati dan menjadi acuan operasional bagi
seluruhpemangku kepentingan.
Faktor-faktor internal
yang dominan mempengaruhi kemampuan petani dalam meningkatkan kesejahteraannya
antara lain adalah masalahpenguasaan sumberdaya, terutama: (1). Sumberdaya
alam, (2). Teknologi,khususnya teknologi pasca panen dan pengolahan hasil, (3).
Modal dan (4).Informasi, khususnya informasi pasar, akses kepada teknologi dan
modal. Sedangkan faktor eksternal antara lain menyangkut: (1). System
pembinaan,(2). Kebijakan ekonomi makro, (3). Kebijakan khusus, seperti
kebijakanperdagangan menyangkut komoditas tertentu, dan (4). Perubahan
lingkunganstrategis yang potensial menjadi tantangan dan menimbulkan
permasalahanbagi petani. Dari permasalahan yang telah dikemukakan menunjukkan
bahwapeluang bagi petani di perdesaan untuk meningkatkan
kesejahteraannyamelalui perolehan nilai tambah hasil pertanian dapat terlaksana
apabila petanidi perdesaan dapat menguasai proses pengolahan dan pemasaran
komoditasyang diusahakan, atau penerapan system agribisnis secara utuh.
.
Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Dualisme adalah dua keadaan yang berbeda
dimana satu keadaan bersifat superior dan keadaan lainnya bersifat inferior
yang hidup berdampingan pada ruang dan waktu yang sama.
3.1.2 Dualisme sendiri terdiri dari berbagai macam
aspek, seperti : Dualisme Sosial, Dualisme Ekologis, Dualisme Teknologi,
Dualisme Finansial, Dualisme Regional
3.1.3 Tiga permasalahan pokok yang dihadapi oleh
negara sedang berkembangadalah sebagai berikut: berkembangnya ketidakmerataan
pendapatan,kemiskinan, gap atau jurang perbedaan yang semakin lebar antara
negara maju dengan negara sedang berkembang. Berdasarkan teori J.H. Boeke
tentangdualisme ekonomi di negara berkembang dimana bergantung pada
anugerahalami suatu negara terhadap sumber daya untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
karena dalam ekonomi berkembang, modal alami mungkin hanya sumber modal yang
tersedia langsung dari alam. Adapun dikarenakan Indonesia negara agraris maka
kasus dualismeekonomi didominasi atas globalisasi pertanian yang telah dimulai
sejakpemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan hongitochten, yaitu
caraperdagangan monopoli yang disertai dengan penghancuran kebun/hutan
rempahpenduduk yang berani menyaingi monopoli perdagangan tersebut
disingkirkansehingga menimbulkan konflik karena ketimpangan penguasaan sumber
dayaalam. Oleh karena itu untuk meminimalisir dampak negative dari globalisasi
dankonflik pertanian yang terjadi diperlukan upaya pengembangan agribisnis
yanglekat dengan peningkatan pemberdayaan (empowering) masyarakat
agribisnisterutama skala mikro dan kecil dalam suatu kebijakan yang “berpihak”.
3.2 Saran
Dualisme ekonomi saat
ini menjadi hak oleh semua Negara di seluruh dunia yang sedang berkembang dalam
suatu masyarakat. Dengan adanya dualisme mengakibatkan ketidakmampuan sebagaig
sumber daya yang ada di NYSB tidak digunakan secara efesien. Jadi saya
menyarankan bahwa sumber daya yang ada di Indonesia kita harus manfaatkan
dengan baik, yaitu dengan adanya dualisme ekonomi ini kita lakukan pengembangan
sumber daya manusia yang ada dan kita harus manfaatkan dengan baik.